Bangkrutnya suatu perusahaan besar ataupun institusi keuangan seringkali mengungkap banyak hal yang mengejutkan dan menyisakan polemik panjang.
Hal yang sama terjadi dengan kasus ambruknya Lehman Brothers di Amerika Serikat (AS) tanggal 15 September 2008 lalu. Sekedar kilas balik, Lehman Brothers merupakan salah satu investment bank terbesar di AS yang sudah berusia lebih dari 150 Kebangkrutan bank ini merupakan yang terbesar yang pernah terjadi dalam sejarah perbankan di AS. Bangkrutnya Lehman Brothers juga merupakan titik awal serangan badai krisis terdahsyat pasca Perang Dunia II yang melanda tahun 2007/08 lalu.
Seperti halnya terjadi pada setiap krisis, krisis kali ini juga mengubah secara mendasar berbagai aspek tatanan sosial, ekonomi dan politik. Bahkan, krisis kali ini mempengaruhi konstelasi geopolitik dan merombak tatanan pasar finansial secara global. Hampir semua negara terkena imbasnya meski dalam skala yang berbeda.
Di Indonesia, imbas yang paling besar justru pada aspek politik. Hal ini terlihat dari ‘keributan’ pelaksanaan hak angket DPR dalam penyelidikan kebijakan pencegahan dampak krisis melalui Pansus Century. Keributan yang konon justru menjadikan Indonesia dikategorikan sebagai negara terkorup di kawasan Asia Pasifik dalam survey yang dilakukan oleh Political and Economic Risk Consultancy (PERC) bulan Maret 2010 lalu.
Bangkrutnya Lehman Brothers inipun akhirnya mencuatkan pula praktik ‘manipulasi’ standar akuntansi (window dressing). Meski hal ini sesungguhnya merupakan kejahatan, namun biasanya sulit untuk membuktikannya di pengadilan,karena menyangkut interpretasi atau judgment.
Hambatan utama biasanya karena akuntansi terkait erat dengan sistem hukum yang berlaku. Pada hakekatnya setiap transaksi merupakan kontrak legal. Kontrak legal inilah yang menjadi dasar pemaknaan substansi ekonomi dari setiap transaksi. Praktik manipulasi akuntansi ini mungkin tak terbayang oleh Luca Pacioli, ahli matematika yang hidup di jaman Renaissance yang dikenal sebagai bapak akuntansi.
Terkait dengan bangkrutnya Lehman Brothers ini, kejahatan window dressing tersebut juga kembali menjadi bahan perdebatan seru. Kali ini, yang menjadi sorotan adalah seputar transaksi ‘repo’.
Perdebatan ini mencuat setelah keluarnya laporan audit investigasi penyebab bangkrutnya Lehman Brothers tanggal 11 Maret 2010 lalu. Audit dilakukan oleh Anton R. Valukas, yang ditunjuk oleh pengadilan kepailitan Southern District (Manhattan). Proses penyeledikan itu sendiri memakan waktu sekitar setahun dan menghabiskan biaya 42 juta US Dollar!
Laporan Valukas tersebut setebal 2.200 halaman dan terdiri atas 9 volume. Khusus menyangkut transaksi repo, dilaporkan pada volume 3 bagian III.A.4 halaman 732-1053. Bagian inilah yang menjadi perdebatan seru dan akan memiliki implikasi yang panjang.
Agak sedikit mengherankan sebenarnya karena transaksi repo sudah merupakan ‘makanan sehari-hari’ bagi industri keuangan, khususnya di AS dan Eropa. Juga hal yang seharusnya ‘terang-benderang’ bagi auditor (akuntan publik) maupun otoritas pengawas di US maupun di Eropa.
Lantas, apa yang ‘istimewa’ dari transaksi repo ini? mengapa akan menjadi debat panjang?
Sebelum mengulas seperti apa praktik repo yang dilakukan Lehman Brothers, menarik untuk melihat ‘sangkaan’ dari temuan yang ada di dalam laporan hasil penyelidikan bangkrutnya Lehman Brothers. Laporan Valukas tersebut menyimpulkan adanya ‘materially misleading accounting gimmick’ atau singkatnya praktik window dressing (upaya ‘mempercantik’ kondisi keuangan secara artificial agar kondisi perusahaan terlihat lebih kuat).
Praktik yang disebut window dressing tadi bahkan sudah diakui sendiri oleh salah satu pejabat eksekutif Lehman Brothers dalam percakapan melalui email internal.
Selain itu, kekhawatiran terhadap praktik akuntansi tidak sehat menyangkut transaksi repo Lehman Brothers ini sebenarnya sudah disampaikan oleh salah satu senior vice president Lehman Brothers, Matthew Lee, sekitar bulan Mei/Juni 2008. Hal itu disampaikan baik kepada pejabat senior di bank maupun kepada auditor Ernst & Young (E&Y), namun tidak memperoleh tanggapan.
Para pejabat tinggi Lehman Brothers juga disebut melakukan ‘actionable balance sheet manipulation’. Valukas juga menyebut E&Y – yang merupakan the biggest five public accountant, auditor Lehman Brothers waktu itu sebagai ‘tidak memenuhi standar profesional’ sebagai auditor dan melakukan ‘malpraktek’ (halaman 990/91). Opini audit E&Y terakhir menyatakan semuanya masih ‘ok’ atau ‘fairly presented in accordance with general accepted accounting principles’ (GAAP). E&Y masih bertahan dengan pendapatnya tadi setelah keluarnya Laporan Pemeriksaan Valukas tadi, meski berdalih bahwa auditnya yang terakhir belum selesai karena Lehman Brothers keburu bangkrut.
Kemungkinan komplikasi lain adalah fakta bahwa sebelum Lehman Brothers bangkrut, pihak otoritas, baik SEC maupun FED New York sudah menempatkan pengawasnya di Lehman Brothers. Para pengawas tersebut benar-benar ‘menongkrongi’ kantor Lehman Brothers dan memiliki akses ke semua pembukuan dan dokumen internal, termasuk komunikasi diantara pejabat bank. Hal ini lazim dikenal dengan on-site supervisory presence (OSP).
OSP ini oleh SEC dan FED NY dilakukan segera sesudah ‘bail-out’ terhadap Bear Stearn dan dilakukan terhadap semua investment bank besar di AS, seperti Goldman Sach, Morgan Stanley dan Merrill Lynch. Fakta inilah yang membuat Tim Geithner mantan Presiden FED NY, sekerang the US Secretary of the Treasury di kabinet Obama, dan Christopher Cox, ketua SEC kembali menjadi sorotan.
Temuan-temuan dalam Laporan Valukas tersebut juga sangat menarik perhatian Phil Angelide, ketua Financial Crisis Inquiry Commision (FCIC) semacam ‘Pansus’ penyelidikan kejatuhan pasar finansial di AS. Angelide akan menjadikan temuan Valukas ini sebagai bahan dalam penyelidikannya lebih lanjut untuk melihat implikasinya.Tim yang dipimpin Angelide ini dalam beberapa kali proses ‘hearing’ sudah memanggil pimpinan Hedge Fund terbesar di AS, termasuk George Soros, pimpinan investment bank di US, pejabat SEC, pejabat the FED dan pejabat FBI dalam proses penyelidikannya. Proses penyedikan yang juga diwarnai dengan dialog yang ‘tajam’ terhadap para pihak yang didengar pendapatnya.
Hal lain yang akan membuat ‘komplikasi’ adalah bahwa praktik yang dinilai sebagai window dressing ini memanfaatkan ‘regulatory arbitrage’, yaitu perbedaan sistem hukum dan standar akuntansi yang berlaku di Inggris dan AS. Praktik yang dilakukan Lehman Brothers ini melibatkan perusahaan afiliasi Lehman Brothers yang berdomisili di Inggris.
Faktor-faktor di atas yang membuat Valukas sendiri, meski yakin memiliki bukti yang kuat, namun terkesan agak pesimis dengan tindak lanjut hasil temuannya di pengadilan, khususnya menyangkut tuduhan ke auditor. Hal ini terlihat di bagian akhir laporan volume 3, yaitu bagian ‘possible defense’ halaman 1053. Intinya, keputusan akan sangat tergantung dari kesaksian para ‘ahli’, yang disebutkan terutama dari pandangan profesor di bidang akuntansi dan audit.
Apa itu Repo dan Repo ‘105’?
Repo pada dasarnya adalah pinjaman yang dijamin dengan agunan, biasanya berupa surat-surat berharga (securities). Dengan demikian, makna ekonomi transaksi repo adalah ‘collateralized borrowing’. Lazim pula disebut dengan ‘gadai’, misalnya gadai surat-surat berharga atau gadai saham. Sekedar kilas balik, transaksi repo ini juga mencuat dalam kasus FPJP bank Century karena FPJP hakekatnya juga merupakan transaksi repo.
Pada umumnya repo dibedakan menajdi dua jenis, yaitu ‘classic repo’ dan ‘sell and buy back’ repo. Meskipun ada pula yang menggunakan jenis repo berupa ‘total return swap’.
Untuk ‘classic repo’ maka tak lain adalah benar-benar berupa pinjaman dana (cash) yang dijamin dengan agunan. Pihak yang meminjam dana (buyer atau borrower) akan mencatat pinjaman di sisi Hutang (liabilities) sebagai lawan ‘cash’ yang diterima. Agunan yang diserahkan masih tercatat sebagai aset di neraca bank peminjam tersebut. Dengan demikian, total neraca bank akan bertambah sebesar transaksi repo yang dilakukan.
Sementara untuk ‘sell and buy back’ repo, maka agunan (surat-surat berharga) seolah-olah ikut berpindah tangan. Dengan demikian, penerimaan cash dari bank pemberi pinjaman, akan diikuti dengan penyerahan aset (surat-surat berharga). Namun demikian, perlu diingat bahwa bank peminjam tersebut harus tetap menginformasikan bahwa memiliki kewajiban untuk ‘membeli’ kembali surat berharga yang diserahkan (sebagai agunan) atas pinjaman yang diterima sesuai dengan harga yang sudah disepakati di awal. Pencatatan yang sama, dari sisi sebaliknya juga dilakukan oleh lawan transaksi (counterpart). Hal ini mengingat transaksi repo ini pada prinsipnya mencakup 2 perjanjian transaksi yang tidak terpisah, yaitu ‘menjual’ sementara surat berharga untuk kemudian ‘dibeli’ kembali.
Nah, pada saat transaksi repo dilakukan oleh Lehman Brothers, kewajiban untuk membeli kembali surat berharga tersebut tidak diungkapkan sebagaimana seharusnya dilakukan menurut standar akuntansi yang berlaku. Metode pencatatan akuntansi ini saat itu terdapat pada Statemen of Financial Accounting Standard (SFAS) 140, semacam PSAK di Indonesia. Standar akuntansi yang mulai diperkenalkan di AS tahun 2001.
Transaksi repo Lehman Brothers ini dilakukan dengan pihak terkait di Inggris yang, konon memiliki sistem hukum dan standar akuntansi yang berbeda. Pihak terkait inilah yang awalnya melakukan pembelian secara repo surat berharga, yang kemudian direpokan kembali ke Lehman Brothers di US. Hal yang sebaliknya juga dilakukan dengan mekanisme yang sama pada saat Lehman Brothers melakukan penjualan secara repo.
Menurut argumen Lehman Brothers, transaksi repo semacam ini di Inggris bisa diperlakukan sebagai ‘true sales’ atau penjualan ‘outright’. Seolah benar-benar dijual tanpa kewajiban untuk dibeli kembali.
Dengan dalih seperti itu, maka Lehman Brothers dapat ‘memperbaiki’ tampilan neracanya, menjadi lebih ‘sehat’. Penjualan surat berharga secara repo, yang oleh Lehman Brothers diperlakukan sebagai ‘true sale’ tadi dan kemudian ‘cash’ yang diterima digunakan untuk melunasi ‘hutang’ membuat total aset (neraca) Lehman Brothers akan mengecil. Demikian pula tingkat ‘leverage ratio’ (rasio hutang terhadap modal) menjadi lebih baik. Lehman Brothers terlihat lebih ‘liquid’ kondisinya pada saat dimana isu likuiditas bank-bank di AS menjadi sorotan.
Praktik yang dilakukan Lehman Brothers tersebut bahkan sempat membuat salah satu pesaingnya, yaitu Merrill Lynch curiga dan ‘melaporkannya’ ke the Fed. Sesuatu yang konon tidak lazim dilakukan perbankan di AS meskipun dalam kondisi persaingan perbankan yang ketat.
Hal yang menjadi pusat ‘keanehan’ dan memperkuat dugaan praktik ‘window dressing’ adalah bahwa transaksi repo tersebut dilakukan pada setiap akhir kuartal, menjelang publikasi laporan keuangan kuartalan. Jumlah transaksi repo-nya pun terus meningkat, yaitu sekitar 38,6 milyar US Dollar (2007), 49,1 milyar US Dollar di kuartal I 2008 dan 50,38 milyar US Dollar di kuartal II 2008. Transaksi ini dilakukan Lehman Brothers dengan jangka waktu yang sangat pendek (rata-rata di bawah 7 hari, bahkan ada yang hanya semalam). Artinya, begitu laporan keuangan kuartalan keluar, maka kondisi neraca Lehman Brothers kembali seperti sediakala (tidak sebagus pada saat laporan dikeluarkan ke publik).
Apa itu Repo ‘105’?
Di dalam Laporan Valukas, penggunaan terminologi repo 105 ini sebenarnya merujuk pada repo 105 dan repo 108. Angka 5 dan 8 tersebut sebenarnya menunjukkan hair-cut (potongan yang dikenakan terhadap penilaian agunan) yang dikenakan pada transaksi repo surat berharga tersebut. Hair-cut 5% (105) maksudnya adalah bahwa pinjaman dana sebesar 100 US Dollar akan dijamin dengan agunan senilai 105 US Dollar. Beberapa pihak menyebut sebagai ‘top-up’ atau ‘cover-up’ agunan.
Apakah hal tersebut aneh?
Yang membuat para pihak merasa ‘aneh’ adalah karena ‘hair-cut’ tersebut ‘diberikan’ oleh Lehman Brothers termasuk untuk agunan ‘surat berharga’ berupa US Treasury. Jelas merupakan hal yang tidak wajar pada saat dimana permintaan akan US Treasury Bills meningkat tajam sejalan dengan fenomena ‘flight to quality’ saat itu. Lazimnya, hair-cut untuk repo US Treasury Bills hanya dalam kisaran 1%.
Sayangnya, laporan Valukas dan perdebatan menyangkut transaksi repo 105-nya Lehman Brothers ini, yang merupakan salah satu bentuk transaksi ‘over-the-counter’ (OTC) tidak menyinggung masalah perjanjian transaksi repo yang digunakan. Misalnya, apakah repo tersebut tunduk pada General Master Repo Agreement (GMRA) yang lazimnya mendasari transaksi repo. Namun bisa jadi tidak karena transaksi repo 105 tersebut dilakukan dengan melibatkan pihak terkait di Inggris, meskipun pihak terkait di Inggris selanjutnya melakukan transaksi repo dengan counterpart di Inggris.
Namun demikian, fakta tersebut saat ini juga menajdi perhatian pihak otoritas di Inggris, yaitu The UK Financial Reporting and Council (The FRC). FRC merupakan badan yang mengatur masalah akuntansi dan audit di Inggris.
Kini, proses penyeldikan terhadap para mantan pejabat Lehman Brothers sedang mulai bergulir. Besar kemungkinan, Richard S. Fuld Jr., CEO terakhir yang akan mendapat giliran dicecar pertama kali. Kita lihat apakah pengadilan di AS dapat mengambil keputusan yang sepadan. Yang pasti, prosesnya akan sangat panjang Mudah-mudahan pihak otoritas terkait di Indonesia mampu mengambil hikmah dari pelajaran yang sangat mahal dan menyakitkan ini. Bila tidak, alangkah malangnya nasib bangsa ini bila hal serupa meledak di sini karena bukan tak mungkin praktik sejenis juga banyak dilakukan di sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar